
Tepat pada tanggal 8 Maret 2024, saya berangkat ke Hong Kong
memenuhi undangan Pengurus Cabang
Istemewa (PCI) Nahdlatul Ulama Hong Kong untuk melaksanakan sebuah Program
Sosialisasi Fikih di Luar Negeri.
Saya berangkat ke Hong Kong melalui Bandara Soekarno Hatta dengan penerbangan Garuda GA.860 jam 07.25 dari Jakarta dan tiba di Hong Kong jam 13.15 WHK. Dengan izin Allah dan berkahnya para ulama muasis Nahdlatul Ulama, alhamdulillah dalam perjalanan menuju Hong Kong saya dimudahkan oleh Allah Swt. Tanpa banyak pertanyaan dari petugas imigrasi baik di Indonesia maupun di Hong Kong. Begitu tiba di bandara Hongkong airport chek lap kok. saya dijemput oleh salah seorang pekerja migran Indonesia yang ditugaskan Oleh PCI NU Hong Kong. Mbak Nurul namanya. Mbak Nurul berasal dari Kediri. Dengan wajah sabar dan penuh kecemasan, tapi antusias mbak Nurul menunggu saya di luar bandara, karena mbak Nurul harus menunggu kurang lebih 1 jam setengah di Bandara Hong Kong.
Keluar dari bandara, saya langsung naik bis yang mirip
seperti Transjakarta. Pembayarannya menggunakan kartu bernama octopus (Baat
Daaht Tùng). Demikian bahasa kartu tersebut dalam bahasa Hong Kong. Kartu sakti
di Hong Kong. Karena semua transaksi ; transportasi, beli barang, loundry, dan
lain-lain, semuanya pakai kartu itu. Saya melihat Hong Kong sebagai kota yang
cukup modern. Dimana-mana, banyak apartemen dan gedung serta perusahaan yang
mewah. Semua serba baja dan beton. Bahkan di sekitar bandara, banyak sekali
pembangunan yang digarap oleh pemerintahan Hong Kong. Wajar sekali, kata temen
temen PMI menyebut “Hong kong si Negeri Beton”.
Cuaca di sini kebetulan lagi musim dingin, sehingga
membutuhkan baju tebal atau jaket. Kelihatan jalan yang begitu rapi dan tertib.
Orang tidak boleh buang sampah sembarangan, tidak bisa merokok dan meludah di
sembarang tempat. Demikian juga, orang menjalankan mobil di Hong Kong penuh
dengan aturan dan tata tertib lalu lintas. Orang menyeberang jalan pun harus
tertib dan ikut aturan. Bahkan konon katanya pemerintahan Hong Kong
memberlakukan denda yang cukup besar bagi orang yang melanggar aturan yang ada
di Hong Kong.
Akhirnya, kurang lebih 1 jam setengah perjalanan dari
bandara, saya sudah sampai di jantung kota di Hong Kong yang namanya Causeway
Bay. Di sinilah kantor berdiri PCI NUHong Kong. Alamatnya di Lt 6/F LEI HA
COURT, No. 17 , Haven Street, Causeway Bay Hong Kong.
Begitu masuk, saya disambut oleh para Pengurus Cabang
Istimewa NU Hong Kong yang ternyata perempuan semua. Padahal, saya membayangkan
mereka adalah laki-laki. Mereka menyampaikan bahwa pengurus PCI NU Hong Kong
kebanyakan adalah perempuan. Walaupun Rais dan Ketua Tanfidziyah-nya adalah
laki-laki tapi para pembantu-pembantunya
itu adalah banyak dari kalangan perempuan. Ini menunjukan bahwa pekerja Migran
Indonesia di Hong Kong rata-rata perempuan.
Malam harinya, saya baru bertemu dengan ketua Tanfidziyah
PCI NU Hong Kong. Ustad Suparno namnya. Ia didampingi oleh pengurus Lazisnu
yang bernama Ust. Puguh Hari Setyawan. Di sela-sela bekerja, karena sampai
larut malam, mereka menyempatkan untuk bertemu dengan saya.
Mulailah cerita dengan penuh keakraban dan menyenangkan,
mengobrol dengan penuhtawa dan senda gurau sebagai ciri khas NU sembari minum
kopi dan makanan ringan di Hong Kong. Sehingga sampai mereka cerita terkait
bagaimana susah payahnya mendirikan PCI NU Hong Kong. Mulai dari perkumpulan
kecil sesama Pekerha Migran, yang tempat berkumpulnya di bawah jembatan,
sehingga tambah besar dan pertemanan semakin luas.
Ust Suparno sendiri adalah pekerja migran laki-laki yang
bekerja sebagai sopir. Karena kepedulian dan cintanya kepada Nahdlatul ulama
sangat luar biasa, akhirnya dia berinisiatif dari komunitas-komunitas kecil
yang dulu didirikan PCI NU Hong Kong menjadi besar dan komunitas yang cukup
besar kurang lebih hampir 200.000 orang. Pekerja migran di Hong Kong, mayoritas
adalah warga Nahdlatul ulama.
Ketika saya menanyakan terhadap keberadaan kantor PCI NU Hong Kong apakah sudah milik sendiri jawabannya di sini, mereka menjawab bahwa orang dari luar Hong Kong tidak boleh memiliki gedung tapi hanya bisa menyewa. Sewanya cukup fantastis hingga 30 juta per bulan. Uang ini dikumpulkan dari warga Nahdliyin sendiri. Sebegitu antusias pekerja migran di Hong Kong untuk membangun dan mendirikan PCI NU Hong Kong hingga memiliki kantor yang sangat luar biasa untuk ukuran di Hong Kong.
Dalam praktik ibadah, mereka sejatinya sangat rindu terhadap
perilaku keagamaan yang di Indonesia. Tetapi karena dihadapkan dengan situasi
dan kondisi yang tidak sempurna melaksanakan ibadah sebagaimana di Indonesia.
Misalnya seorang pekerja migran yang bekerja di bawah majikan dan susah keluar
karena dia berada di apartemen yang tingginya puluhan tingkat. Mereka hanya
bisa keluar waktu libur saja yaitu hari Minggu, kalau libur Sabtu juga bisa
keluar. Pada kesempatan inilah, PCI NU Hong Kong membangun silaturahmi dan
komunikasi antara mereka. Disini, mereka mengadakan kegiatantawa dan senda
gurau sebagai ciri khas NU sembari minum kopi dan makanan ringan di Hong Kong.
Sehingga sampai mereka cerita terkait bagaimana susah payahnya mendirikan PCI
NU Hong Kong. Mulai dari perkumpulan kecil sesama Pekerha Migran, yang tempat
berkumpulnya di bawah jembatan, sehingga tambah besar dan pertemanan semakin
luas.
Ust Suparno sendiri adalah pekerja migran laki-laki yang
bekerja sebagai sopir. Karena kepedulian dan cintanya kepada Nahdlatul ulama
sangat luar biasa, akhirnya dia berinisiatif dari komunitas-komunitas kecil
yang dulu didirikan PCI NU Hong Kong menjadi besar dan komunitas yang cukup
besar kurang lebih hampir 200.000 orang. Pekerja migran di Hong Kong, mayoritas
adalah warga Nahdlatul ulama.
Ketika saya menanyakan terhadap keberadaan kantor PCI NU
Hong Kong apakah sudah milik sendiri jawabannya di sini, mereka menjawab bahwa
orang dari luar Hong Kong tidak boleh memiliki gedung tapi hanya bisa menyewa.
Sewanya cukup fantastis hingga 30 juta per bulan. Uang ini dikumpulkan dari
warga Nahdliyin sendiri. Sebegitu antusias pekerja migran di Hong Kong untuk
membangun dan mendirikan PCI NU Hong Kong hingga memiliki kantor yang sangat
luar biasa untuk ukuran di Hong Kong.
Dalam praktik ibadah, mereka sejatinya sangat rindu terhadap
perilaku keagamaan yang di Indonesia. Tetapi karena dihadapkan dengan situasi
dan kondisi yang tidak sempurna melaksanakan ibadah sebagaimana di Indonesia.
Misalnya seorang pekerja migran yang bekerja di bawah majikan dan susah keluar
karena dia berada di apartemen yang tingginya puluhan tingkat. Mereka hanya
bisa keluar waktu libur saja yaitu hari Minggu, kalau libur Sabtu juga bisa
keluar. Pada kesempatan inilah, PCI NU Hong Kong membangun silaturahmi dan
komunikasi antara mereka. Disini, mereka mengadakan kegiatanInilah baru
‘sekelumit diskusi kesulitan’ yang dialami oleh para pekerja migran di Hong
Kong. Sekali lagi, ini baru cerita sedikit sambil ngobrol berkenalan dan
bersenda gurau dengan kekhasan NU dengan temen PCI NU Hong Kong.
Dekan Fakultas Syariah




